Materi pemberitaan Firman Tuhan pada mimbar Gereja Protestan Indonesia di Papua edisi minggu, 2 Oktober 2022 menurut Keluaran 18 : 13 – 27 sangatlah menarik untuk dimaknai bagi segenap umat dan para penyelenggara pelayanan dalam GerejaNya ini. Menurut saya, pemberitaan Firman edisi minggu ini adalah ‘pintu masuk’ bagi Gereja Protestan Indonesia di Papua untuk memilih pemimpin di lingkup Sinode dan Klasis yang kelak akan mengabdi di-era kepemimpinan 2022 – 2027. Pemimpin yang dimaksudkan adalah Pelaksana Harian Badan Pekerja Sinode dan Badan Pekerja Klasis serta Komisi pelayanan (Kompel ) wadah-wadah kategorial bersama badan terkaitnya, yang jika Tuhan menghendaki akan terpilih dalam Persidangan Sinode X dan Musyawarah Pelayanan V pada tanggal 23 Oktober – 2 November 2022 di Merauke serta Persidangan Klasis dan Musyawarah Pelayanan di-tiap Klasis.
Yitro sang mertua Musa, bukanlah seorang pemimpin tetapi ia memberi kritik dan solusi yang konstruktif kepada Musa sang pemimpin umat Israel kala itu. Mengamati gaya kepemimpinan Musa, maka Yitro memberi mengkritisinya "Tidak baik seperti yang kaulakukan itu. Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini ; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja” (ayat 17-18). Yitro tidak bermaksud menggurui menantunya itu, tetapi menurutnya gaya kepemimpinan tunggal yang diterapkan oleh Musa tidak efektif dan efisien. Musa terlalu kaku mengimplementasikan sistem Pemerintahan Teokrasi bagi umat Isreal, apalagi seorang diri harus melayani dan berhadapan dengan ribuan umat Allah yang terkadang keras kepala itu. Selanjutnya Yitro menawarkan solusi ‘Teori Kepemimpinan Pendelegasian Tugas’ kepada Musa, yakni : “kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap ; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang” (ayat 21). Walau memiliki kelemahan sebagai seorang pemimpin. ternyata Musa membuka diri dan mau menerima kritikan maupun saran dari orang lain. Ia melakukan apa yang disarankan mertuanya itu (ayat 24). Tugas Musa selanjutnya adalah mencari pemimpin, tentu ia akan menakar atau mengukur satu persatu yang terbaik diantara ribuan umat Israel, yang bisa membantunya melaksanakan tugas kepemimpinan. Takaran itu mengacu pada 4 kriteria kepemimpinan yang disarankan Yitro, sebagai berikut : Pertama, orang yang cakap. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, kata cakap berarti orang yang memiliki kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan sesuatu. Kriteria ini memberi isyarat kepada Musa untuk menerapkan prinsip ‘The right man on the right place’ yakni menempatkan seseorang pada posisi yang tepat berdasarkan kemampuannya. Kedua, takut akan Allah. Takut akan Allah menunjuk pada karakter diri, kepatuhan dan relasi yang baik dengan Allah. Syarat ini mutlak bagi seorang pemimpin umat. Ketiga, orang yang dapat dipercaya. Syarat ini menunjuk pada konsistensi, kejujuran dan loyalitas seseorang dalam melayani umatNya. Keempat, dan yang benci terhadap pengejaran suap. Benci terhadap pengejaran suap berarti tidak menerima gratifikasi atau hadiah dalam bentuk uang maupun barang. Mengapa syarat ini penting? sebab gratifikasi akan melemahkan kepemimpinan dan cenderung menciptakan pemimpin umat yang materialistis. Orang-orang pilihan berdasarkan kriteria dimaksud selanjutnya ditempatkan pada jabatan kepemimpinan dengan ruang lingkup 1000 orang, 100 orang, 50 orang dan 10 orang, yakni satuan kerja yang terbesar hingga yang terkecil. Teori kepemimpinan yang ditawarkan oleh Yitro dengan syarat dan ruang lingkupnya merupakan teori kepemimpinan tertua dalam sejarah kepemimpinan di dunia. Teori kepemimpinan ini dominan diberlakukan dalam sistem komando pada satuan-satuan militer yang sekarang kita mengenal brigade – batalyon - kompi - platon - regu. Masing-masing satuan dari yang terbesar hingga yang terkecil dipimpin oleh seorang komandan. Menurut Yitro, strategi kepemimpinan yang disarankan jika diterapkan dengan baik maka Musa akan merasa lebih ringan sebab tidak semua tugas harus ia kerjakan dari pagi hingga petang, pelimpahan kewenangan bila diserahkan kepada orang-orang terpilih akan lebih efektif dan efisien dan membawa kepuasaan bagi umat (ayat 23).
Dari analisis teks diatas saya mencoba merekah-rekah ; apakah memang Musa tidak paham strategi apa yang harus ia terapkan ? ataukah memang Musa adalah pemimpin yang egois, yang merasa ‘serba bisa’ sehingga hanya mau bekerja sendiri ? atau mungkin Musa sementara menunggu petunjuk dari Allah atas dasar sistem Pemerintahan Teokrasi yang sementara dipraktekan ? …. Pada sisi lain, saya melihat Teori Kepemimpinan yang ditawarkan oleh Yitro membuka ruang bagi pengembangan potensi sumber daya manusia (SDM) dikalangan umat Israel ; ada pembagian peran disana, proses pengkaderan bisa berjalan disana secara berjenjang. Bahwa pemimpin pada satuan terkecil jika memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dapat dipromosikan menduduki tanggung jawab kepemimpinan pada satuan menengah dan seterusnya. Teori kepemimpinan Yitro juga mengisyaratkan harus adanya penatalayanan organisasi keagamaan yang terstruktur dan manajemen yang baik sehingga fungsi-fungsinya bisa berjalan efek dan efisien.
Memasuki triwulan IV tahun 2022 ini, Gereja Protestan Indonesia di Papua sementara berada pada masa peralihan dari kepemimpinan 2018 – 2022 ke kepemimpinan 2022 – 2027 di lingkup Sinode maupun Klasis. Siapa yang sudah dilirik dan siapakah yang sudah melirik untuk menduduki jabatan-jabatan pelayanan di lingkup Sinode maupun Klasis pada masa bakti 5 tahun kedepan ?? ….. Apapun lirikan dan orangnya, kembali pada tiap-tiap pribadi dengan motivasi dan komitmennya. Semua pegawai, presbiter dan anggota sidi yang telah memenuhi syarat memiliki hak yang sama untuk menempati posisi atau jabatan pelayanan di lingkup Sinode sebagai BPS, BP, BPPG dan Pengurus Kompel maupun di lingkup Klasis untuk menempati posisi sebagai BPK, BPPG dan Pengurus Kompel.
Menyimak dinamika bergereja saat ini, patut diakui bahwa 37 tahun melembaga Gereja ini telah mengalami banyak perkembangan dan kemajuan yang signifikan, walau demikian harus diakui bahwa masih banyak pula kelemahan dan kekuarangan yang perlu dibenahi dan mendapat perhatian, baik dari sisi organisasi, kepemimpinan maupun pelayanan. Pada sisi lain ada sejumlah tantangan yang muncul, baik secara internal maupun eksternal yang secara detail nantinya akan dievaluasi dan disiasati dalam forum persidangan Sinodal, Klasikal dan jemaat. Introspeksi dan pemantapan komitmen kolektif maupun personal adalah bagian dari pembenahan kepemimpinan dan pelayanan Gereja. Menjadi pemimpin dalam Gereja harus siap dikritik dan mau menerima saran dari orang lain, apalagi bila kritik dan saran dimaksud bertujuan untuk membangun. Pembenahan dan perhatian terhadap sejumlah kekurangan dan kelemahan semuanya mengarah pada peningkatan kinerja organisasi atau kepemimpinan dan pelayanan di semua lingkup.
Siapakah yang akan dipilih ?? ….. 4 Kriteria pokok yang disarankan Yitro kepada Musa masih sangat relevan dalam konteks kepemimpinan Gereja di-era milenial ini. Selain itu, dari sisi Manajemen Strategic saya berpendapat ada 4 Pilar penopang dalam rangka peningkatan kinerja kepemimpinan dan pelayanan yang tak boleh diabaikan oleh para pemimpin Gereja, yakni : Pertama, Visi dan Misi. Seorang pemimpin Gereja harus Visioner, punya mimpi kedepan yang cemerlang. GPI Papua ibarat ‘Perahu Besar’ mau diarahkan kemana ? …. Visi adalah ‘kompas’ yang memberi petunjuk atau arah pergerakan organisasi ini kedepan. 5 tahun kedepan Gereja ini harus seperti apa ? … 10 – 20 tahun kedepan Gereja ini harus bagaimana. GPI Papua sudah memiliki Visi dan Misi tetapi sesungguhnya Visi dan Misi dimaksud belum diketahui oleh semua presbiter dan umat serta belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Persoalan pokok lainnya adalah GPI Papua belum memiliki Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) sebagaimana amanat Tata Gereja. Gereja ini juga belum memiliki Rencana Strategi (Renstra) yang representative untuk dijadikan acuan dalam penyusunan program kerja di tiap lingkup. Kedua, pengembangan Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai motor penggerak kemajuan suatu organisasi perlu mendapat penguatan dari kepemimpinan Gereja periode 5 tahun kedepan. 372 orang tenaga Pendeta/Pengajar (data/31 Mei 2022) sebagian besar berkualifikasi pendidikan Strata Satu (S1) yang tersebar di wilayah kotawi maupun kampung-pedalaman yang memiliki kemampuan yang handal, namun harus diakui bahwa para pegawai organik ini sangat membutuhkan refresh dan penguatan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) secara berjenjang dan periodik, seminar, lokakarya dan studi banding di dalam maupun di luar Papua. Pada sisi lain, ada sejumlah pegawai organik yang sudah sekian tahun bahkan puluhan tahun bertugas di wilayah kampung-pedalaman ; mereka butuh penyegaran, mereka butuh suasana baru (jika dimungkinkan butuh mutasi ke wilayah kotawi) sehingga bisa membangkitkan semangat baru, termasuk mengakomodir kebutuhan pengembangan studi anak-anak tercinta. Diharapkan kepemimpinan kedepan dapat mengakomodir kerinduan hamba-hamba Tuhan ini. Ketiga, Perangkat Organisasi yang handal. Perangkat organisasi yang dimaksudkan adalah struktur organisasi yang relevan, perangkat kepemimpinan yang baik, fungsi komunikasi, koordinasi dan kerja sama yang solid, fasilitas dan infrastruktur pelayanan yang memadai, system tata kelola pelayanan & keuangan yang baik serta unsur pendukung lainnya. Ibarat kereta api, perangkat organisasi adalah rangkaian gerbong ; harus memberi rasa aman dan nyaman bagi semua orang yang menumpanginya. GPI Papua adalah ‘Rumah Bersama’ dan zona damai bagi segala ciptaanNya. Keempat, Tata Gereja sebagai landasan regulative. Selain Firman Tuhan, semua muatan program, kegiatan dan kebijakan kelembagaan di lingkup Sinode – klasis – jemaat harus mengacu pada Tata Gereja. Penerapan Tata Gereja yang baik pada hakekatnya menciptakan sistem yang rapih tersusun. Butuh komitmen dan konsistensi dari kepemimpinan Gereja untuk berjalan bersama sesuai rel/aturan main yang sudah ditetapkan. Kebijakan untuk menjawab kebutuhan pelayanan boleh-boleh saja tetapi harus disepakati secara kolektif kolegial dan dikoordinasikan dengan pihak terkait, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman persepsi dan polemik di lapangan.
Setiap orang akan menakar calon pemimpinannya, menakar harus mengacu pada nilai yang sesungguhnya, yakni : kriterianya, indikatornya yang tepat dan wajib menjaga keseimbangan. Jagalah kebersamaan sebagai kawan sekerja Allah dan janganlah meniru cara-cara ‘kotor’ yang dipraktekan di luar sana. Jabatan apapun di Gereja tetap beroriantasi pada pelayanan, siapapun yang terpilih adalah alat dalam tanganNya, ia harus menempatkan diri sebagai seorang hamba yang siap melayani, mau bekerja sama dan bekerja bersama-sama dalam semangat Presbiterial Sinodal. Pemimpin Gereja yang baik harus memiliki karakter yang sama seperti Kristus, bisa merangkul, mau mendengar, peduli dan mampu menjalin relasi dengan lembaga-lembaga mitra di dalam maupun di luar negeri, berani membuat terobosan dan harus memahami kearifan lokal.
Anda pasti sudah melirik atau dirilik, anda pasti sudah siap memilih dan atau mau dipilih, atau mungkin posisi anda hanya sebatas memberi saran dan pertimbangan ; teduhkan hati dan bergumullah meminta petunjuk dan jawaban dari Tuhan, maka Ia akan menjawabmu. Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum //rulek’22.
Penulis : Pdt. Rudy. A.Lekatompessy, S.Si, M.M (WAKET III Klasis GPI Papua Sorong-Manokwari)