Secara historis, toga berasal dari kata tego yang dalam bahasa Latin artinya penutup. Menurut beberapa sumber, sejarah penggunaan toga berawal sekitar abad 1 SM. Dimana fungsi awalnya hanya sebatas sebagai busana pakaian luar ruangan. Namun dalam perkembangannya kemudian, toga berubah fungsi termasuk modelnya. Awalnya toga hanyalah pakaian sehari-hari dari selembar kain wol ukuran kurang lebih 6 meter yang pemakaiannya dililitkan di sekujur tubuh penggunanya.
Kini toga telah menjadi pakaian khusus. Peruntukannya pun amatlah khusus dan terkesan sakral seperti pada saat wisuda dan dalam ruang pengadilan. Hal ini pun diberlakukan pada beberapa gereja. Dimana toga telah menjadi semacam pakaian kebesaran khusus dalam setiap peribadatan. Bahkan beberapa gereja dalam tata gerejanya, menyebutkan dengan tegas bahwa toga merupakan pakaian khusus yang melambangkan kemegahan. Hal ini tentu beralasan sebab dalam sejarahnya, toga -khususnya toga hitam- mempunyai arti filosofi yang kental. Warna hitam gelap pada toga adalah simbolisasi bahwa misteri dan kegelapan yang sudah berhasil dikalahkan saat penggunanya menuntaskan pendidikan di bangku kuliah. Dengan demikian penggunanya diharapkan mampu menghapus kegelapan dengan hikmat pengetahuan yang telah dicapainya. Argumentasi ini dapat dimengerti sebab pada awalnya orang yang menggunakan toga di gereja 'Pastor dan Pendeta' diharuskan melewati bangku pendidikan khusus seminari yang sangat kekat. Itulah sebabnya toga pun dianggap melambangkan keagungan dan kemegahan karena penggunanya dituntut memiliki hikmat guna menghapus misteri 'kegelapan' hidup' berupa ketidaktahuan dan kejahatan. Arti tegasnya: pengguna toga memiliki tanggung jawab moral dalam 'melawan' kebodohan pun segala bentuk kejahatan. Mungkin karena alasan ini maka tak hanya sarjana, hakim dan separuh pemuka agama Kristen pun memakai toga warna hitam. Simbol toga ini ingin menegaskan bahwa kebodohan dan kejahatan adalah musuh yang tidak boleh diajak kompromi. Kecerdasan, kebenaran dan rupa-rupa keadilan merupakan prioritas perjuangan para pengguna toga.
Khusus dalam gereja, toga pun harus diartikan sebagai pakaian jabatan atau pakaian liturgis yang harus dimaknai dengan benar. Sebagaimana telah disebutkan di atas, beberapa tata gereja menghubungkan pengenaan toga sebagai lambang kemegahan dan keagungan. Kendati demikian keagungan dan kemegahan toga bukan semata untuk keagungan dan kemegahan diri para pemakainya. Keagungan dan kemegahan saat menggunakan toga sudah semestinya lebih ditujukan kepada keagungan dan kemegahan SANG PENCIPTA. Itu artinya jika dalam peribadatan para Pendeta menggunakan toga. Maka keagungan dan kemegahan peribadatan tersebut secara total hanya ditujukan kepada Allah. Tegasnya, dalam ibadah, keagungan dan kemegahannya sama sekali bukan milik pengguna toga. Keagungan dan kemewahan peribadatan hanya milik DIA yang patut dimuliakan! Kita tidak berhak untuk mengalihkan kemuliaan Allah kepada kemuliaan manusia. Karena itu pula maka seluruh rangkaian ibadah adalah untuk keagungan dan kemegahan TUHAN. Termasuk khotbah yang disampaikan, ia harus selaras dengan keagungan dan kemegahan Allah. Dimana khotbah pun harus melambangkan khotbah yang mengagungkan dan memegahkan kebenaran Tuhan. Wujud khotbah demikian adalah khotbah yang mampu mengimplementasikan perlawanan secara total terhadap kebodohan, kejahatan dan ketidakadilan. Sebaliknya khotbah yang nyinyir, menghakimi, dan menghujat orang lain demi memegahkan dan mengagungkan diri adalah cerminan khotbah yang tidak bersinergi dengan kewibawaan toga. Konon dorongan Marthen Luther saat mengenakan toga kala ia membacakan 95 tesis di Wittenberg Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517 adalah sebagai simbol keyakinan dan kebenarannya pada Kitab Suci. Dimana saat itu ia menggunakan toga akademisnya sebagai lambang untuk mempertegas akan kewibawaan dalil Kitab Suci yang disampaikannya. Toga yang dikenakannya adalah seumpama sebuah 'materai' untuk meyakinkan banyak orang akan pikiran dan ucapannya. Luther sama sekali tidak bermaksud menjadikan toga yang dikenakannya sebagai 'pengalihan' wibawa Tuhan kepada dirinya. Konon pula, ada yang menyebutkan bahwa sejarah toga Kristen Protestan, termasuk warna dan modelnya terinspirasi oleh toga yang dikenakan Marthen Luther.
Bertolak dari paparan tersebut di atas tentang toga, dapat disimpulkan bahwa toga bagi pendeta adalah pakaian jabatan atau liturgis yang sarat makna. Ia bermakna utama sebagai kepatuhan kepada Tuhan dalam melawan kebodohan dan rupa-rupa kejahatan. Toga pun bermakna utama untuk mengedepankan keagungan dan kemegahan Sang Pencipta. Itulah sebabnya penghargaan terhadap toga semestinya bukan terletak pada 'kegagahan diri' penggunanya. Keagungan dan kemegahan toga pun bukan pada pernak-pernik asesorisnya. Dalam hal ini toga menjadi semacam tanda ingat kepada para penggunanya tentang tanggung jawab moral dalam mengatakan dan menyatakan kebenaran serta keagungan dan kemegahan TUHAN. Jadi adalah sia-sia bila menggunakan toga dengan segala aksesorisnya jika tidak dimaknai dengan baik dan benar. Adalah sia-sia jika toga dijadikan sebagai alat untuk membelokkan keagungan dan kemegahan Allah menjadi kebanggaan berlebihan penggunanya.
Jelasnya wibawa Allah harus lebih diutamakan dalam kehidupan dan segala bentuk pelayanan kaum bertoga. Mungkin karena itu, para Presbiter dalam doanya saat memulai ibadah, sering mengucapkan: "sembunyikanlah hambaMu di balik SalibMu". Tentu kalimat ini sarat dengan sebuah permohonan supaya kemuliaan Salib Tuhan harus lebih utama dibandingkan dengan pendeta yang berkhotbah.
Intinya, mengenakan toga memang bisa mendatangkan kegagahan dan kewibawaan pemakainya. Tetapi tuntutan moral pengguna toga sangatlah berat. Toga yang dikenakan menjadi pengingat kesiapan dan kesigapan melakukan kebanaran serta tekad melawan kebodohan dan kejahatan demi kemuliaan dan keagungan Tuhan. Apalagi pada leher toga juga tersisip semacam 'dasi putih' atau collar berwarna putih; ini pun menjadi pengingat bahwa kaum bertoga di gereja wajib mengeluarkan perkataan yang putih bersih, jujur sebagaimana Firman Tuhan yang murni.
Sumber:
1. Pakaian Jabatan Pendeta (Toga) dalam www.gmim.or.id/pakaian-jabatan-pendeta-toga
2. Pdt. Samuel Nitti dalam sinodegmit.or.id/toga-pendeta-bukan-busana-pribadi
3. Toga dalam id.wikipedia.org/wiki/Toga_(pakaian)
Penulis : Pdt. Ruben Rewasan, S.Th,S.PAK, MTh