Sejak beberapa tahun ini, saya semakin sadar dan tertarik mendalami relasi masyarakat lokal dan Agama-agama. Bahkan pokok ini menjadi fokus studi dan riset saya dari perspektif ilmu sosial (sosiologi agama) dalam konteks masyarakat lokal rumpun etnik Mbaham Mata, Fakfak. Kini dalam tugas kelembagaan, saya dihentar memasuki perjumpaan dan dialog menggereja dan masyarakat serta budaya lokal, sebegitu juga dengan masyarakat perkotaan.
Dalam diskusi dan seminar yang dilakukan dengan kawan-kawan pelayan di Klasis GPI Papua Asmat, telah dimulai sebuah upaya awal memasuki kesadaran dan keseriusan perihal kontekstualisasi menggereja. Demikian juga hal ini digumuli bersama kawan-kawan pelayan di empat klasis regional Merauke (Klasis GPI Papua Merauke, Klasis GPI Papua Kafalak Bob, Klasis GPI Papua Muting dan Klasis GPI Papua Okaba). Dalam diskusi dan seminar-seminar tersebut, telah dipikirkan ramuan untuk fokus menggereja bersama masyarakat rumpun etnik Marind. Diskusi ini berawal dari nukilan pengalaman para pelayan terkait dengan salah satu ritus adat lokal yg disebut Yamo. Juga fakta-fakta sosio historik terkait eksistensi rumpun etnik lokal Marind mendorong untuk mengarusutamakan kembali secara kuat topik gumulan ini.
Mereka (Kawan-kawan) pelayan diajak untuk menelusuri ulang dan mengungkapkan pengalaman perjumpaan gereja dengan masyarakat lokal adatis yang berlangsung melalui diri dan sepanjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan mereka selama ini. Hal tersebut melahirkan suatu konstuksi pikir yang sangat kaya dan mendalam serta inspiratif. Pendekatan ini saya bawa atau timba dari sumbangan lingkup penteorian praktik sosial dan pendekatan etnografi baru.
Semua ini merupakan bagian dari spirit menggereja "Berdiri Bersama Masyarakat lokal... " yg dicanangkan pada Ulang Tahun ke-33 GPI PAPUA, 25 Mei 2018 lalu. Selama ini gereja dan budaya lokal hidup bersama, tapi "terpisah" sebagai dua area seperti minyak dan air dalam satu wadah. Bila menggunakan pendekatan 'social-subjective actors' lokal dengan model theory of social practices, kita akan menemukan titik simpul interelasi dan interaksi dua area tersebut dalam narasi-narasi dan praktik-praktik sosial warga gereja dan masyarakat yang menyimpan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, wawasan-wawasan, harapan-harapan serta perspektif mereka dalam mengolah perjumpaan gereja dan budaya .
Dengan demikian dapat dikatakan secara faktual, para pelayan (pendeta), merekalah sebagai social-subjective actors lokal, karena melalui pengalaman sehari-hari mereka menjalani trayek pulang-balik antara dua wilayah kultural tersebut. Lebih dalam lagi bisa dikatakan dari pengalaman itu sebenarnya dua wilayah kultural (gereja dan budaya lokal) dipertemukan dan berinteraksi serta dikelola dalam pikiran, batin, kesadaran dan hidup warga jemaat dan masyarakat adat lokal.
Mari susuri, telisik serta ungkap pikiran, perasaan, wawasan para aktor subyektif sosial-kultural lokal, yang selama ini belum terlalu diperhatikan oleh kita. Sebab merekalah sebenarnya yang akan membangun dan menghidupi tatanan sosial-budaya-relijius baru dan khas dari perjumpaan dan interaksi gereja dan budaya . Butuh studi dan riset serius pulang balik ke dua wilayah kultural ini dalam kerangka berteologi dan menggereja kontekstual.Hal Ini menjadi krusial karena warga gereja dan masyarakat lokal tidak hanya berurusan dengan 'masa lalu tradisional', tetapi mereka harus hidup di dalam dan menghidupi kompleks sosial-budaya modern dengan segala bawaan serta efek dan eksesnya.
Oleh Karena itu, gereja harus terus bertumbuh dan membuka diri serta tidak terjebak dalam ''keasyikan" dan merasa puas diri sebagai aktor tunggal di pentas depan sosial-kultural lokal yang mungkin saja dapat berakibat para aktor subyektif sosial lokal terbaikan, padahal mereka sangat membutuhkan ruang untuk berdialog yang dapat memperkaya kasana bergereja dengan masyarakat dalam budaya lokal
.
Penulis : Pdt. Dr. R. Helweldery, M.Si
Editor : Media Center GPI Papua